Muda dan Kaya Raya: Pengusaha Ayam Potong, Asep Sulaiman Subanda

KAYA RAYA diusia muda? Bagi Asep Sulaiman Subanda, hal itu kini tak lagi menjadi sebuah impian. Diusianya yang baru menginjak angka 30 tahun, alumnus Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ini sudah memiliki perusahaan dengan aset senilai Rp 70 miliar. Melalui bendera Santika Group, gurita bisnisnya pun mulai menjalar ke sejumlah sektor usaha. Mulai peternakan ayam, penyewaan kendaraan bermotor dan alat berat, perkebunan, hotel hingga agen perjalanan umroh dan haji. Saban tahun, omset perusahaan yang mampu menampung ratusan pekerja dan petani plasma ini, sudah mencapai ratusan miliar rupiah.

Bagi Asep, apa yang diraihnya saat ini sesungguhnya tak semudah yang dibayangkan banyak orang. Sebagai pengusaha, pria kelahiran desa Cidahu Subang ini, sudah sering menelan pil pahit lantaran usahanya merugi. Tapi berkat keuletan, kerja keras dan keyakinannya kepada sang Kholik, semua rintangan itu berhasil dia lalui. Asep mengatakan, kegagalan yang pernah dialaminya, justru menjadi pelajaran berharga untuk menapaki tangga kesuksesan. ”Saya pernah merugi hampir Rp 2,5 miliar akibat virus flu burung. Tapi alhamdulillah, dengan penanganan yang lebih baik kerugian itu bisa kembali dalam satu bulan,” katanya kepada Trust di kediamannya, Subang, Jawa Barat.

Sebagai anak seorang pengusaha ayam potong, sedari muda Asep sudah berkeinginan untuk memiliki usaha sendiri. Makanya, setelah

menyelesaikan sekolahnya di Gontor, Asep mulai merintis usaha yang menjadi impiannya itu. ”Tahun 1996 saya belajar langsung kepada ayah soal usaha ayam,” ungkapnya. Merasa sudah bisa menjalankan bisnis sendiri, setahun kemudian Asep mencoba untuk melepas diri dari bayang-bayang orangtuanya. Dia menyewa satu kandang milik ayahnya dan mulai memelihara 10 ribu ekor ayam.

Satu setengah bulan kemudian, Asep menikmati hasil keringkatnya sendiri. Ayam-ayam yang dipeliharanya itu dijual dan memberikan keuntungan sebesar Rp 10 juta. Mengantongi untung besar, rupanya, membuat Asep— yang saat itu baru menginjak usia 20 tahun- makin ambisus. Suami Vina Nuryanti ini lantas menjadi petani plasma dan menggelontorkan modal lebih besar lagi. Jika semula hanya 10 ribu ekor, dalam periode berikutnya Asep menambah ternaknya hingga 60 ribu ekor. Dengan ayam sebanyak itu, Asep berpikir bakal mengantongi untung hingga Rp 60 juta. Tapi apa mau dikata. Ambisi besarnya itu justru berbuah pil pahit. Asep menderita kerugian sebanyak Rp 80 juta.

BISNISNYA KIAN MENGGURITA

Kegagalan itu membuat Asep sempat down. Maklum, sebagian besar modal usahanya diperoleh dari perusahaan inti. Untungnya, ia tak terlalu lama larut dalam kegagalan. Menghadapi situasi yang amat sulit itu, Asep lantas mengambil sebuah keputusan dramatis. ”Untuk menutup kerugian itu, saya menambah jumlah ayam hingga 90 ribu ekor,” ujarnya. Celakanya, upaya penyelamatan itu gagal total. Bukannya untung, pria yang tak menyelesaikan kuliahnya di Universitas Subang ini justru merugi lebih besar, sekitar Rp 90 juta. Tak ayal, kondisi itu membuat bisnis Asep bangkrut. Dengan utang senilai Rp 170 juta, Asep hanya memiliki aset berupa jip tua seharga Rp 4 juta. ”Hampir setiap hari saya selalu dikejar-kejar debt collector,” akunya.

Melihat anaknya dalam kesulitan, sang ayah, Shobur Tadjudin, akhirnya turun tangan. Dengan reputasinya yang cukup baik, Shobur lantas menjadi penjamin semua utang-utang Asep. Alhamdulillah semua kreditur bersedia melunakkan sikapnya dan mau memahami kondisi sang buah hati. Setelah persoalan utang bisa ditangani, Asep mulai merintis kembali usahanya. Namun, strategi bisnisnya diubah. Jika semula menjadi petani plasma, dia memutuskan untuk hanya menjadi pedagang saja. Menurutnya, dalam rantai bisnis ayam, trading merupakan bidang usaha yang paling mini resikonya.

Untuk memudahkan usahanya, semua kandang yang dimiliki Asep diserahkan kepada inti. Syaratnya, semua ayam yang dipelihara oleh inti harus dijual kepadanya. Tawaran itu rupanya mendapat sambutan dari inti. Alhasil, bisnisnya pun mulai kembali bersemi. Setelah memiliki modal yang cukup, Asep lantas memberanikan diri untuk menjadi perusahaan inti dan mengembangkan petani plasma sendiri. Semua kandang yang sempat disewakan ke inti kembali dikelolanya. Sementara para petani plasma yang berniat bergabung diberikan modal usaha. Diantaranya meliputi bibit ayam, pakan, dan obat-obatan. Petani peternak hanya diminta untuk menyediakan tempat, kandang ayam, dan tenaga kerja. Pada tahap awal, Asep menggandeng 20 peternak plasma dengan total ternak sebanyak 40.000 ekor. Ditambah dengan ayam peliharannya, ketika itu Asep memiliki tak kurang dari 100 ribu ekor sekali panen.

Untuk mengurangi resiko Asep turun langsung membina para petani plasmanya. Hubungan dengan para petani juga dijaga sebaik mungkin. ”Prinsipnya kami bisa sama-sama mendapatkan manfaat dari kerjasama ini,” katanya. Dengan starteginya itu, bisnis Asep berkembang semakin cepat. Hanya dalam rentang 2 tahun, pada 2002, produksi plasmanya naik menjadi 150.000 ekor per sekali panen. Masa panen sendiri berkisar antara 1,5 bulan-2 bulan.

Merasa bisnis ayamnya mulai sehat, pada tahun 2003 Asep pun mulai mengincar usaha lain. Lantaran butuh tambahan modal, dia lantas mengajukan kredit ke sebuah bank. Tapi ditolak. Tak dinyana, ketika menawarkan diri ke bank BNI, proposal pinjamannya disetujui. Lebih menggemberikan lagi, selain diberikan kredit sebesar Rp 1 miliar, perusahaannya juga mendapatkan konsultasi manajemen dari BNI. ”Saya mendapatkan banyak ilmu,” kata dia.

Ketika wabah flu burung merebak tahun 2004, bisnis Asep juga terkena imbasnya. Saat itu dia mengalami kerugian hingga Rp 2,5 miliar. Untungnya, kerugian itu bisa ditutup. Bahkan, tak lama kemudian dia mendapatkan tambahan kredit untuk memperluas usahanya. Dengan payung usaha Santika Group, Asep kini memiliki sejumlah perusahaan yang bergerak di berbagai sektor usaha.

PT Metrovet Anugrah Lestari menggarap penyediaan mulitivitamin, antibiotika, kemoterapeutika, anthelmintika, anti koksidiosis, serta disinfektan. Smunya untuk ternak ayam. Lewat PT Santika Duta Nusantara ia mendirikan unit usaha Penyediaan Satuan Produksi Ternak berupa bibit Ayam, pakan, dan peralatan pendukung lainnya. Asep juga mendirikan tempat pemotongan ayam, menjalankan bisnis penjualan ayam hingga menggarap usaha waralaba ayam goreng siap saji. Dengan diversifikasi usaha ini, perusahaannya mampu menyerap tenaga kerja hingga 228 orang yang kebanyakan berasal dari Subang. Untuk usaha waralaba, ia menjalin kemitraan dengan 300 pedagang.

Diluar bisnis ayam, Asep memiliki PT Aufa Duta Nusantara, sebuah agen tour dan travel yang menggarap bisnis penyelenggaraan ibadah haji. ”Musim haji ini kami akan memberangkatkan 1000 jemaah,” katanya. Lalu, dengan bendera PT Santika Berlian Nusantara ia menyewakan kendaraan roda, termasuk alat berat di lokasi tambang batubara. Baru-baru ini dia terjun ke bisnis hotel melalui PT Sabanda Propertindo Utama. Hotel melati yang telah dibelinya kini sedang direnovasi untuk dijadikan hotel berbintang tiga. Saat ini asep mulai merintis usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan perkebunan di Kalimantan dengan luas lahan mencapai 1000 ha. Gurita bisnisnya memang sudah menjalar ke sejumlah daerah. Mulai Indramayu, Karawang, Purwakarta, Malang, Kalimantan, Jakarta hingga merambah ke negeri tetangga Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. ”Saya ingin menunjukan bahwa bisnis tak harus selalu digerakan dari kota besar,” katanya.

Walaupun sudah dilimpahi kekayaan, ada satu hal yang tidak pernah berubah dari pria ini. ”Saya masih tetap mengajar anak-anak membaca Al Qur’an,” katanya. Begitulah, pria muda nan kaya raya ini agaknya tidak ingin melupakan ilmunya di pesantran Gontor. Dan seperti kata Asep, duniawi dan uhrowi memang harus seimbang. Betul tidak?

http://www.majalahtrust.com/bisnis/profil/1393.php



Leave a comment